Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Kamis, 10 Oktober 2013

Gala Rang Piaman, Sidi, Bagindo dan Sutan

tomi andri
jumat, 11 Oktober 2013
Piaman (Kota Pariaman dan Kabupaten Padangpariaman) merupakan daerah rantau Minangkabau. Di kawasan ini nyaris tak ditemukan bangunan (rumah pemuka adat) yang bagonjong sebagaimana banyak terdapat di daratan Minangkabau. Di daratan Minangkabau, biasa disebut darek, banyak ditemui rumah bagonjong.
Selain tiada ditemukan rumah bagonjong yang atapnya seperti tanduk kerbau, terdapat pula kekhasan Piaman dibanding daerah darek. Di  rantau Piaman terdapat gala yang tidak terdapat di darek. Gala khas Piaman itu adalah Sutan, Bagindo dan Sidi. Sebutan Sutan, Bagindo dan Sidi di awal nama seseorang, dapat dipastikan ia berasal dari Piaman. Itulah identitas Rang Piaman. Namun, jika sebutan tersebut berada di belakang namanya, itu bukanlah dari Piaman.  Dalam sistem perkawinan dan kekerabatan di Piaman, memang memiliki perbedaan dengan daerah  lain di Minangkabau. Selain uang japuik, sebutan gelar bagi laki-laki yang sudah berumah tangga juga beda. Di Piaman dikenal tiga sebutan, yakni Bagindo, Sutan dan Sidi.
Gelar ini sudah ditanyakan pihak perempuan ketika pernikahan dilangsungkan. Biasanya ada saja pihak perempuan yang nyeletuk, “siapa gelar menantu kita ini”. Secara spontan dijawab oleh seseorang keluarga pihak penganten laki-laki, Bagindo gelarnya, atau gelar menantu ko yo Sidi, bisa juga Sutan gelar menantu awak. Sejak itu, resmilah seorang laki-laki Piaman dipanggil gelarnya oleh keluarga isterinya yang lebih tua dari sang isteri.
Meski gelar Bagindo, Sidi dan Sutan dikenal juga di daerah Minangkabau lainnya, namun pemakaiannya selalu ditambah atau rangkap seperti : Bagindo Sutan, Malin Sutan atau  Sutan Magek dan sebagainya yang turun dari mamak ke kamanakan. Gelar itu diletakkan di belakang nama seseorang laki-laki. Contohnya, Kutar Sutan Magek, Damanhuri Bagindo Malin dan sebagainya. Sedangkan di Pariaman, gelar itu mendahului nama seseorang seperti : Bagindo Muhammad, Sutan Damanhuri dan sebagainya yang diwarisi dari ayah turun ke anak.
Agaknya orang Pariaman sendiri menganut sistem amphibius, ya matrilineal, ya patrilineal. Contoh ; Bagindo Amri gelar Dt. Rajo Mangkuto, Sutan Harun gelar Dt. Majo Basa, Sidi Harun gelar Dt. Lelowangso.
 Panggilan gelar Bagindo, Sidi dan Sutan adalah panggilan yang dilakukan semua pihak keluarga penganten perempuan yang usianya diatas penganten perempuan kepada penganten laki-laki (selanjutnya disebut sumando). Mulai dari mertua, mamak, saudara, kakak ipar, sepupu, saudara mertua, bako penganten perempuan, semuanya menyapa penganten laki-laki dengan gelar yang disandang penganten laki-laki. Tidak akan pernah seorang sumando disapa dengan namanya, pasti disapa dengan sebutan gelarnya (bagindo, sidi dan sutan).
Sekalipun usia sumando lebih tua dibanding dengan keluarga isterinya, namun karena usianya lebih tua dari isteri  (atau isteri memanggilnya Ajo/Uda/Kakak), tetap saja menyapa sumando dengan gelarnya. Sebaliknya, sumando tidak boleh pula menyapa dengan namanya meski lebih muda, tapi sama seperti isterinya memanggil yang lebih tua itu.
Bagi orang Pariaman, janggal memanggil nama langsung menantu laki-laki, termasuk sanak saudara  yang usianya lebih tua dari isterinya. Merupakan aib atau tidak pada tempatnya jika ada seseorang keluarga perempuan menyapa sumando dengan namanya. Tabu bagi seseorang laki-laki dipanggil namanya di tengah keluarga isteri. Kalaupun belum mengetahui secara pasti gelarnya, pasti ditanyakan dulu, siapa gala menantu kita ini. Sehingga yang lebih tua dari isterinya, memanggil gelar, Sidi, Bagindo atau Sutan. Sedangkan lebih muda dari isteri bisa memanggil Ajo, Uda, atau seperti sang isterinya memanggil.
Di daerah Pariaman orang laki-laki yang sudah menikah tanpa gelar (salah satu gelar dari tiga tadi), maka sering disebut dengan “Uwo” atau “Magek”. Penyandang gelar yang sebenarnya bukan gelar ini (Uwo atau magek), dianggap rendah atau tidak termasuk pada “orang berbangsa” di Pariaman. 
Hamka juga mengakui perbedaan di Pariaman ini dengan daratan Minangkabau. Di Pariaman orang mengambil gelar daripada ayahnya, yaitu gelar “Sidi”. Dan gelar sidi yang asli ialah diterimanya turun temurun sebagai keturunan Hasan dan Husain, dan pada wajah kaum “Sidi” (di tempat lain kaum sayid) yang asli masih kedapatan bentuk-bentuk Arab. Setelah itu  keturunan “Bagindo” yang pada dirinya mengalir darah raja-raja dari yang ada pertalian dengan Aceh. Setelah itu keturunan “Sutan”. Gelar-gelar itu semuanya diterima dari ayah. Padahal susunan gelar yang demikian tidak ada di Minangkabau darat. Gelar diterima orang dari mamaknya. Yang utama ialah “Datuk”, kemudian itu sutan atau bagindo atau kari (dari qori) atau pakih (dari faqih) atau malin (dari mu’allim). Gelar datuk, sutan dan bagindo diterima  turun temurun dari mamak.   
Menurut Hamka, pengaruh Aceh besar sekali di Tiku Pariaman, sehingga jelas sampai sekarang pada gelar yang dipakai. Orang Pariaman menerima gelar keturunan dari ayahnya, bukan dari mamaknya. Tiga gelar yang terkenal itu adalah Sidi, Bagindo dan Sutan.
Sidi gelar keturunan Rasulullah, sebagai Sayid dan Syarif. Sampai sekarang di Marokko, keturunan-keturunan Sayid itu masih disebutkan Sidi. Bagindo, gelar keturunan raja-raja. Dan Sutan keturunan bangsawan. Semua dipanggil Ajo. Dari kata Raja (Rajo). Sebab itu janggal sekali terdengar di telingga orang Tiku Pariaman kalau kami orang darat bergelar Sidi Bagindo, Bagindo Sidi, atau Sidi Sutan, atau Sutan Bagindo dan Bagindo Sutan. Ini menunjukkan sudah begitu mendalamnya pengaruh Arab Islam di Tiku Pariaman, namun harta pusaka masih tetap matriaarchat
Dari tiga gelar tadi (Bagindo, Sutan dan Sidi), pada masa lalu Sidi lebih diistimewakan. Dalam tata cara pernikahan, mereka yang bergelar sidi akan memakai roki, yaitu  peci yang bersulam benang emas dan beranting-anting ketika pergi bersemandan (basumandan) ke rumah penganten perempuan. Sedangkan laki-laki yang bergelar selain Sidi, hanya memakai peci hitam. Selain itu, mertuanya (ibu dari isterinya) sering memberi uang kepada menantunya ini. Sekarang ketiga gelar tersebut menempati posisi yang sama dan diperlakukan sama.
Sebagai perbandingan, gelar sidi juga terdapat di negara Tunisia dan Afrika Utara (Aljazair, Maroko dan Libya). Lukman Harun dalam sebuah tulisannya menyebutkan, di negara tersebut banyak nama daerah bernama sidi. Contohnya Sidi Bousaid, Sidi Makhlouf, dan sebagainya. Ternyata nama itu berasal dari ulama, orang-orang alim yang menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok di Afrika Utara. Jika ulama tersebut meninggal, maka daerah itu dinamakan dengan nama ulama tersebut yang diawali dengan Sidi. Jika dilihat asal muasal Sidi di Pariaman, dari Saidina (tuan kami) atau Said (tuan) yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. Konon, katanya dulu ada ulama/mubaligh dari Timur Tengah  datang ke Pariaman untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Dari situlah asal mulanya perkataan Sidi. Muncul pertanyaan, adakah keterkaitan sebutan Sidi ini dengan yang di Tunisia dan Afrika Utara? Entalah. Perlu penelitian lebih lanjut. 
Jika seseorang tidak memiliki salah satu gelar dari  tiga gelar tersebut, maka diberikan gelar Marah Sutan. Gelar Marah Sutan diperoleh bukanlah atas keturunannya, tapi adalah gelar yang diberikan kepada seseorang karena menantu tersebut “tidak mempunyai gelar”. Boleh jadi menantunya bukan dari orang Pariaman yang tidak memiliki gelar dari ayahnya. Sehingga diberikan gelar Marah Sutan, agar keluarga isterinya yang lebih tua tidak memanggil nama, tapi adalah gelar.
Pergolakan perpolitikan di Sumatera Barat melalui PRRI menjelang 1960-an telah menyebabkan kekalahan fisik dan mental orang Minangkabau, termasuk rang Piaman. Sehingga  sebagian  Rang Piaman enggan menunjukkan identitas dirinya. Di pentas nasional, sebutan gelar tersebut tak lagi dicantumkan. Bahkan boleh jadi ada yang malu mengaku rang Piaman. Dari segi pemberian nama kepada anak sebagai identitas dirinya pun bergeser. Muncul nama-nama anak yang sering meniru dan mencontoh nama ke barat-baratan atau asal memberikan nama sehingga tidak mengandung makna yang baik. Bahkan nama yang diberikan berkonotasi jelek sehingga dengan mudah jadi ejekan orang lain. Atau meniru nama-nama bintang film yang akhlak dan moralnya amat diragukan.
Padahal menurut  hadist Nabi Muhammad Saw, “Kewajiban orangtua atas anaknya ialah membaguskan namanya dan budi pekertinya, mengajari menulis, berenang dan memanah, dan tidak memberinya rezeki kecuali yang baik, dan mengawinkannya apabila ia berkehendak.” (HR. Hakim). 
Banyak nama-nama tokoh Islam yang pantas dan indah didengar untuk diabadikan kepada nama anak. Baik nama Nabi seperti Ibrahim, Yakub, Ilyas, Sulaiman dan sebagainya, tokoh Islam semasa zaman  nabi, khulafarrasyidin, tabi’in, dan tokoh-tokoh Islam selanjutnya yang dikenang sejarah. Dengan memberikan nama-nama tokoh tersebut, mudah-mudahan sang anak juga menjadi tokoh Islam yang memperjuangkan agamanya. Bisa juga dari asma’ul husna.  Seperti Rahman (pengasih), Rahim (penyayang), Malik (memiliki/merajai), Muhaimin (penjaga), Mu’iz (pemberi kemuliaan), Aziz (mulia/wibawa) dan seterusnya. Mudah-mudahan pemberian nama tersebut mampu menjadi karakter si anak kelak setelah menjadi dewasa. Bukan seperti kebanyakkan orang tua yang memberikan nama anak sembarangan, termasuk mencontoh nama-nama yang kedengaran kurang enak. Bukankah nama anak merupakan identitas dirinya sejak kecil hingga wafat dan sampai di hari akhir kelak.

Rabu, 21 Agustus 2013

Kota Pariaman

Kota Pariaman

Logo
Slogan: Sabiduak Sadayuang
Letak Pariaman di Sumatera Barat
Kota Pariaman is located in Indonesia
Kota Pariaman
Letak Pariaman di Indonesia
Koordinat: 0°37′32,41″LU 100°7′23,1″BT
Negara Indonesia
Provinsi Sumatera Barat
Pemerintahan
 • Wali kota Mukhlis Rahman
Luas
 • Total 73.36 km2 (28.32 mil²)
Ketinggian 514 m (1,686 ft)
Populasi (2010[1])
 • Total 97.901
 • Kepadatan 1,300/km2 (3,500/sq mi)
Zona waktu WIB (UTC+7)
Kode wilayah +62 751
Situs web www.kotapariaman.go.id
Kota Pariaman adalah sebuah kota yang terletak di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini berjarak sekitar 56 km dari kota Padang atau 25 km dari Bandara Internasional Minangkabau.

Sejarah

Menurut laporan Tomé Pires dalam Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 and 1515[2], kota Pariaman ini merupakan bagian dari kawasan rantau Minangkabau. Dan kawasan ini telah menjadi salah satu kota pelabuhan penting di pantai barat Sumatera. Pedagang-pedagang India dan Eropa datang dan berdagang emas, lada dan berbagai hasil perkebunan dari pedalaman Minangkabau lainnya. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah berada dalam kedaulatan kesultanan Aceh[3].
Seiring dengan kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663 yang kemudian mendirikan kantor dagang di kota Padang[4] yang kemudian pada tahun 1668 berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, mulai dari Barus sampai ke Kotawan(?)[5]. Dan kemudian pemerintah Hindia-Belanda memusatkan aktivitasnya di kota Padang, dan membangun jalur rel kereta api antara kota Padang dengan kota Pariaman, sehingga lambat laun pelabuhan Pariaman pun mulai kehilangan pamornya.

Geografi

Kota Pariaman merupakan hamparan dataran rendah yang landai terletak di pantai barat Sumatera dengan ketinggian antara 2 sampai dengan 35 meter diatas permukaan laut dengan luas daratan 73,36 km² dengan panjang pantai ± 12,7 km serta luas perairan laut 282,69 km² dengan 6 buah pulau-pulau kecil diantaranya Pulau Bando, Pulau Gosong, Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso dan Pulau Kasiak.
Kota Pariaman merupakan daerah yang beriklim tropis basah yang sangat dipengaruhi oleh angin barat dan memiliki bulan kering yang sangat pendek. Curah hujan pertahun mencapai angka sekitar 4.055 mm (2006) dengan lama hari hujan 198 hari. Suhu rata-rata 25,34 °C dengan kelembaban udara rata-rata 85,25 dan kecepatan angin rata-rata 1,80 km/jam[6].
Utara kecamatan V Koto Kampung Dalam, kabupaten Padang Pariaman
Selatan kecamatan Nan Sabaris, kabupaten Padang Pariaman
Barat Samudera Hindia
Timur kecamatan VII Koto Sungai Sarik, kabupaten Padang Pariaman

Pemerintahan

Kota Pariaman resmi berdiri sebagai kota otonom pada tanggal 2 Juli 2002 berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang pembentukan kota Pariaman di provinsi Sumatera Barat[7]. Sebelumnya kota ini masih berstatus kota administratif dan menjadi bagian dari kabupaten Padang Pariaman berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 33 Tahun 1986 yang diresmikan tanggal 29 Oktober 1987 oleh Mendagri Soepardjo Rustam dengan Walikota pertamanya Drs. Adlis Legan.
Kota Pariaman terdiri atas empat kecamatan:
  • Pariaman Utara
  • Pariaman Selatan
  • Pariaman Tengah
  • Pariaman Timur
Sampai tahun 2008 tercatat 2.952 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di lingkungan pemerintah kota Pariaman, dengan rincian 54 orang berpendidikan Pasca Sarjana, 1.049 orang Sarjana, 761 orang dengan pendidikan Diploma III, 319 orang D II, 510 orang dengan pendidikan SLTA, 24 orang lulusan SLTP dan 16 orang lulusan SD[8].

Kependudukan

Kota Pariaman jumlah penduduknya hampir secara keseluruhan didominasi oleh etnis Minangkabau, dengan rasio jenis kelamin 93.26, sedangkan jumlah angkatan kerja 27.605 orang dengan jumlah pengangguran 2.970 orang[1]. Dan pada kecamatan Pariaman Tengah menjadi kawasan yang paling padat jumlah penduduknya
Tahun 2008 2010
Jumlah penduduk 70.625 Green Arrow Up.svg 97.901
Sejarah kependudukan kota Padang
Sumber:[1][9]

Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting dalam pembangunan daerah dan menjadi salah satu prioritas pemerintah kota ini, karena dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas tentu akan mendorong perkembangan pembangunan kota Pariaman. Beberapa program pemerintah kota diarahkan pada peningkatan sarana prasarana penunjang pendidikan, baik pengadaan alat laboratorium, alat peraga sekolah, maupun buku-buku sekolah. Selain itu peningkatan kemampuan dan pemerataan tenaga pendidik juga dilakukan secara kontinu termasuk dukungan pendanaan, pelatihan maupun studi lanjut[10].
Pendidikan formal SD atau MI negeri dan swasta SMP atau MTs negeri dan swasta SMA negeri dan swasta MA negeri dan swasta SMK negeri dan swasta Perguruan tinggi
Jumlah satuan 80 19 6 3 9 1
Data sekolah di kota Pariaman
Sumber:[11]

Kesehatan

Kota Pariaman sampai tahun 2008 belum memiliki rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat kota. Namun kota ini telah memiliki 6 buah puskesmas dan 13 puskesmas pembantu[12]

Perhubungan


Jembatan Kurai Taji (tahun 1920-an)
Sebelumnya pelabuhan di kota Pariaman pernah menjadi pusat perdagangan di pantai barat pulau Sumatera, namun seiring dengan menguatnya kekuasaan pemerintahan kolonialis Hindia-Belanda, lambat laun peranan pelabuhan kota ini menurun digantikan oleh pelabuhan Muara dan pelabuhan Teluk Bayur yang terletak di kota Padang[13]. Sampai saat ini pelabuhan laut di kota ini masih belum berfungsi sebagai sarana angkutan penumpang dan barang, dan hanya digunakan untuk tempat berlabuh kapal-kapal nelayan setempat.

Terminal bus lama Pariaman
Pembangunan jalan merupakan aspek penting dalam menunjang sektor ekonomi dan sosial sehingga dapat mengakomodasi keterhubungan lokasi atau ruang fisik dimana kegiatan penduduk berada. Sampai tahun 2007 pemerintah kota Pariaman telah melakukan peningkatan jalan sepanjang 78.30 km.
Selanjutnya sebagai sarana transportasi untuk angkutan dalam kota dan sekitarnya, terdapat mikrolet dan bendi (kereta kuda). Sedangkan untuk antar daerah dalam provinsi digunakan bis. Dan sebagai pusat dari sarana angkutan darat di kota ini adalah pada Terminal Jati[14].
Selain itu kota ini juga memiliki sarana transportasi kereta api yang menghubungkan kota ini dengan kota Padang.

Perekonomian

Sektor perdagangan merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak di kota Pariaman, yang kemudian disusul oleh sektor jasa, dimana pada kota ini terdapat 3 buah pasar tradisional. Sektor industri cukup berkembang di kota ini terutama industri kimia dan logam. Sedangkan sektor pertanian masih menjanjikan bagi masyarakat setempat dimana sampai tahun 2007 luas areal persawahan yang masih dimiliki kota ini adalah 36.81 % dari total luas wilayahnya, dan sektor pertanian ini juga memberikan konstribusi paling besar yaitu sebesar 27.06 % dari total PDRB kota Pariaman.
Perkembangan PDRB kota Pariaman
Tahun PDRB atas dasar harga berlaku
(milyar rupiah)
PDRB atas dasar harga konstan 2000
(milyar rupiah)
Pertumbuhan
(%)
Inflasi
(%)
2003 641.91 509.11 5.05 6.01
2004 715.22 535.81 5.24 5.87
2005 865.65 561.91 4.87 15.41
2006 1.019.92 589.88 4.98 12.24
2007 1.126.04 621.50 5.36 4.79
Sumber: [6][1]

Pariwisata

Kota Pariaman memiliki pantai landai dengan pesona yang indah, saat ini resort wisata telah dibenahi oleh pemerintah daerah setempat dalam usaha pengembangan sektor pariwisatanya. Salah satu objek wisata pantainya adalah pantai Gandoriah yang berlokasi di depan stasiun kereta api kota ini.
Kota ini juga dikenal dengan pesta budaya tahunan tabuik[15][16][17] yang prosesi acaranya diselenggarakan mulai dari tanggal 1 Muharram sampai pada puncaknya tanggal 10 Muharram setiap tahunnya.

Pesta budaya Tabuik di kota Pariaman

Pesta budaya Tabuik telah diselenggarakan sejak zaman kolonial Belanda

Budaya

Masyarakat di kota Pariaman ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan etnis Minangkabau umumnya. Sebagai kawasan yang berada dalam struktur rantau, beberapa pengaruh terutama dari Aceh masih dapat ditelusuri sampai sekarang, diantaranya penamaan atau panggilan untuk seseorang di kawasan ini, misalnya ajo (lelaki dewasa, dengan maksud sama dengan kakak) atau cik uniang (perempuan dewasa, dengan maksud sama dengan kakak) sedangkan panggilan yang biasa digunakan di kawasan darek adalah uda (lelaki) dan uni (perempuan). Selain itu masih terdapat lagi beberapa panggilan yang hanya dikenal di kota ini seperti bagindo atau sidi (sebuah panggilan kehormatan buat orang tertentu).
Kemudian dalam tradisi perkawinan, masyarakat pada kota ini masih mengenal apa yang dinamakan Ba japuik atau Ba bali yaitu semacam tradisi dimana pihak mempelai wanita mesti menyediakan uang dengan jumlah tertentu yang digunakan untuk meminang mempelai prianya.

Referensi

  1. ^ a b c d sumbar.bps.go.id Jumlah penduduk Kota Pariaman
  2. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  3. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  4. ^ Colombijn, Freek, (1996), Padang, Cities (Elsevier), Vol. 13, Issue 4, August 1996, pp. 281-288, doi:10.1016/0264-2751(96)00010-8. (Jurnal berbayar)
  5. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  6. ^ a b www.kotapariaman.go.id Profil Kota Pariaman (diakses pada 4 Juli 2010)
  7. ^ www.setneg.go.id Undang-undang Nomor 12 Tahun 2002
  8. ^ www.kotapariaman.go.id Jumlah Aparatur (diakses pada 4 Juli 2010)
  9. ^ www.kotapariaman.go.id Penduduk (diakses pada 4 Juli 2010)
  10. ^ www.kotapariaman.go.id Pendidikan (diakses pada 4 Juli 2010)
  11. ^ nisn.jardiknas.org Rekap data
  12. ^ www.depkes.go.id Profil Kesehatan Kota Pariaman (diakses pada 4 Juli 2010)
  13. ^ Dobbin, Christine E., (1992), Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatera Tengah, 1784-1847, INIS, ISBN 978-979-8116-12-4.
  14. ^ www.kotapariaman.go.id Pemko Pariaman Akan Terus Optimalkan Terminal Jati (diakses pada 9 Juli 2010)
  15. ^ Berkmoes, Ryan Ver, (2010), Lonely Planet Indonesia, Lonely Planet, ISBN 978-1-74104-830-8.
  16. ^ Indonesia magazine, (1994), Yayasan Harapan Kita.
  17. ^ Abidin, Mas'oed, (2005), Ensiklopedi Minangkabau, Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, ISBN 978-979-3797-23-6.

Kamis, 18 Juli 2013

Silek Minangkabau atau (bahasa Indonesia: silat Minangkabau) adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Di samping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar.

Daftar isi

Kamis, 11 Juli 2013

            Sejarah perjalanan sarak di minangkabau, semuanya berawal dari ranah piaman, yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin dari Tanah Ulakan, Pesisir pantai, terus menyebar sampai kepedalaman daerah minangkabau dan kenegara tetanggak. Disamping Syekh Burhanuddin, dalam catatan sejarah rang piaman banyak ulama-lama besar berpengaruh yang lahir dan merasul (berdakwah) di piaman, seperti Tuangku Nan Basaruang di Ulakan, Syekh M. Hatta di Nagari Kapalo Koto, Syekh Mato Aie di Nagari Pakandangan, Syekh Tuangku Tampe Talang di Kuranji Hilir, Tuangku Badinah di Nagari Sungai Garinggiang, Tuangku Johor di Limu Purut, Tuangku Lubuak Ipuah di Nan Sabaris, Syekh Harun Bin Abdulla Gani di Toboh Pariaman, dan Syekh Tuangku Saliah Kiramat dan banyak lagi ulama besar piaman lainnya yang tidak bisa digambarkan dalam tulisan ini.
Setiap ulama yang ada di piaman memiliki kisah-kisah yang menarik untuk diceritakan, semua ulama besar tersebut telah memberikan kontribusi dan mendudukan pondasi kuat tegagnya ajaran sarak (agama islam) di ranah piaman dan minangkabau, salah satunya contoh adalah Syekh Mato Aie di Pakandangan, semasa hidup Syekh Mato aie memiliki murit dan pengikut dimana-mana, ini dapat kita lihat dari ramainya orang berziyarah pada saat bulan ramadhan mau masuk, dilihat makam Syekh Mato Aie yang berda dipakandangan sangat ramai di kunjungi oleh para peziyarah tersebut, baik yang berasal dari Piaman sendri, mapun dari luar piaman sperti dari Aceh, Damasraya dan Batusangkar.
Disamping Syekh Mato Aie yang memiliki pengaruh yang besar, ada juga ulama piaman yang sangat karismatik dan memiliki kiramat (kemuliyaan) yaitu Syekh Tuangku Saliah Kiramat atau orang Sungai Sariak mengatakan “Ungku Saliah”, Tuangku Saliah yang nama sebenarnya “dawaik”, beliau dilahirkan di PS. Panjang tahun 1890, dan meninggal pada tahun 1974, adalah ulama piaman yang memiliki banyak murit dan pengikut, semasa hidupnya Ungku Saliah memiliki Surau di Ujung Gunung Sungai Sariak dan beliau dimakamkan sekarang di Korong Lareh Nan Panjang, Nagari Sungai Sariak, kita bisa lihat goboanya disana.
Perjalan dakwah Ungku Saliah atau yang disebut oleh orang tua-tua kampuang juga merassul beliau dilakukan di beberapa tempat di daerah piaman dan minangkabau ini, Ungku Saliah menurut cerita urang tuo-tuo dulu mengatakan bahwa Ungku Saliah merupakan seorang umat manusia mengajarkan Islam kepada semua masyarakat piaman, yang memiliki kelebihaan, sehingga dengan kelebihaan itu dijelaskan Ungku Saliah memiliki kiramat dan keistimewaan sebagai ulama, seperti Pertama, Do,a Ungku Saliah yang banyak dikabulkan oleh Allah. SWT. Sehingga pada waktu beliau masih hidup banyak masyarakat atau muritnya yang minta didoakan oleh Tuangku Saliah untuk mendapatkan pertolongan dari Allah. SWT, Kedua Ungku Saliah memiliki indera yang lebih dari kabanyakan orang, sehingga Ungku Saliah pernah meramalkan dan mempredisi kejadian-kejadian yang akan terjadi dalam waktu dekat dan kejadian-kejadian yang akan terjadi kedepan,
Ketiga Ungku Saliah mampu memberikan obat dan penawar kepada orang sakit, sehingga dalam ceritanya orang sakit tersebut bisa sembuh dan sehat kembali, Keempat beliau juga termasuk yang menentang dan melawan penjajagan Belanda, dalam riwayatnya Ungku Saliah pernah dipenjaraa dengan muritnya oleh Belanda. Kelima disaat beliau mengisi ceramah atau mengisi pengajian, Ungku Salih bisa hadir diwaktu bersamaan dibeberapa surau, dan banyak lagi kiramat yang dimiliki oleh Tuangku Saliah tersebut.
Kehidupan Tuangku Saliah dalam cerita orang-orang tua dulu memiliki keistimewaan yang sangat menonjol, dalam sejarahnya tidak banyak penulis atau sasrawan yang mengkaji dan menuliskan kisah-kisah beliau, dari gambaran penulis banyak cerita-cerita yang dipercayai pernah terjadi pada masa hidup beliau yang tidak ditulisakan, hanya cerita-cerita yang banya berkembang ditengah masyarakat Piaman seperti Tuangku Saliah semasa hidup beliau sering ke Koto Mambang, setiap jumaatnya, setiap kedatangan beliau disambut oleh masyarakat dengan penuh penghargaan, semua orang dengan ikhlas memberikan apa saja yang diminta dan diinginkan oleh Tuangku Saliah, banyak orang bersedekah dan Ungku Saliah pun banyak memberikan kepada masyarakat, cerita M. Yadi khibo, (prantau piaman) mengatakan bahwa diwaktu kecil yadi, Ungku Saliah pernah memberikan 3 (tiga) benda, berupa ganto padati, tangkelek, dan sagenggam bareh (beras), semua benda itu disimpan oleh orang tuan yadi untuk dijadikan obat dan penawar sakit.
Disamping itu ada juga kisah, pada masa itu, ada salah seorang pengikutnya bernama sabar, yang ditegur oleh Ungku saliah yang belum membayar nazar, dan biasanya Tuangku Saliah selalu mengingatnya karna dia tahu selalu, kalau muritnya sabar itu kilaf belum membayarnya. Ada juga kisah yang digambarkan pada saat Belanda menyerang Lubuk Alung dengan membom bardir Pasar Lubuk Alung, sebelum terjadi penyerangan Belanda, Tuangku Saliah sudah memperingatkan warga Pasar Lubuak Aluang agar berhati. dengan mengataka bahwa sebetar lagi akan ada hujan lebat, maka padi yang terjemur agar segera di bangkit atau diteduhkan, sedangkan pada waktu itu hari sangat panas terik, alhasil ternya yang dimaksut dari Ungku Saliah itu adalah akan ada serangan bom dan mortir dari penjajah Belanda.
Syekh Tuangku Saliah Kiramat memiliki pengikut yang banyak, malah sampai sekarang masyarakat Piaman masih memiliki kerpercayaan yang diujutkan dengan dipajangnya foto Ungku Saliah di beberapa tempat, malah dikeramaian. Seandainya kita melakukan perjalanan kesetiap daerah dan kota di Indonesia, lalu singgah di warung nasi Padang, maka banyak kita temukan adanya foto-foto Ungku Saliah yang dipajang didinding rumah makan padang tersbut, bisa kita lihat dipajang didekat kasir, dipintu keluar dan lainya. Maka bisa dipastikan bahwa orang yang memasang foto Ungku Saliah tersbut merupakan pengikut.
Dalam sejarah Ungku Saliah, hanya dilukiskan oleh orang piaman dalam bentuk cerita dari mulut-kemulut, sampai hari ini belum ada penelitian yang ilmiah yang menggali dan melakukan penelitian akademis dari sosok sebenarnya Tuangku Saliah tersbut, dalam kesimpulan tulisan ini, begitu heroiknya kisah beliau maka patutlah kiranya masyarakat Piaman dan masyarakat minangkabau melakukan pengkajian dan meneliti jejak dan sejara Syekh Tuangku Saliah Kiramat untuk dibukukan dan dimunculkan dalam cacatan sejarah seorang ulama yang berpengaruh diminagkabau.

Translate