Gala Rang Piaman, Sidi, Bagindo dan Sutan
tomi andri
jumat, 11 Oktober 2013
Piaman
(Kota Pariaman dan Kabupaten Padangpariaman) merupakan daerah rantau
Minangkabau. Di kawasan ini nyaris tak ditemukan bangunan (rumah pemuka adat)
yang bagonjong sebagaimana banyak terdapat di daratan Minangkabau. Di daratan
Minangkabau, biasa disebut darek, banyak ditemui rumah bagonjong.
Selain tiada ditemukan rumah bagonjong yang atapnya seperti tanduk kerbau, terdapat pula kekhasan Piaman dibanding daerah darek. Di rantau Piaman terdapat gala yang tidak terdapat di darek. Gala khas Piaman itu adalah Sutan, Bagindo dan Sidi. Sebutan Sutan, Bagindo dan Sidi di awal nama seseorang, dapat dipastikan ia berasal dari Piaman. Itulah identitas Rang Piaman. Namun, jika sebutan tersebut berada di belakang namanya, itu bukanlah dari Piaman. Dalam sistem perkawinan dan kekerabatan di Piaman, memang memiliki perbedaan dengan daerah lain di Minangkabau. Selain uang japuik, sebutan gelar bagi laki-laki yang sudah berumah tangga juga beda. Di Piaman dikenal tiga sebutan, yakni Bagindo, Sutan dan Sidi.
Gelar ini sudah ditanyakan pihak perempuan ketika pernikahan dilangsungkan. Biasanya ada saja pihak perempuan yang nyeletuk, “siapa gelar menantu kita ini”. Secara spontan dijawab oleh seseorang keluarga pihak penganten laki-laki, Bagindo gelarnya, atau gelar menantu ko yo Sidi, bisa juga Sutan gelar menantu awak. Sejak itu, resmilah seorang laki-laki Piaman dipanggil gelarnya oleh keluarga isterinya yang lebih tua dari sang isteri.
Meski gelar Bagindo, Sidi dan Sutan dikenal juga di daerah Minangkabau lainnya, namun pemakaiannya selalu ditambah atau rangkap seperti : Bagindo Sutan, Malin Sutan atau Sutan Magek dan sebagainya yang turun dari mamak ke kamanakan. Gelar itu diletakkan di belakang nama seseorang laki-laki. Contohnya, Kutar Sutan Magek, Damanhuri Bagindo Malin dan sebagainya. Sedangkan di Pariaman, gelar itu mendahului nama seseorang seperti : Bagindo Muhammad, Sutan Damanhuri dan sebagainya yang diwarisi dari ayah turun ke anak.
Agaknya orang Pariaman sendiri menganut sistem amphibius, ya matrilineal, ya patrilineal. Contoh ; Bagindo Amri gelar Dt. Rajo Mangkuto, Sutan Harun gelar Dt. Majo Basa, Sidi Harun gelar Dt. Lelowangso.
Panggilan gelar Bagindo, Sidi dan Sutan adalah panggilan yang dilakukan semua pihak keluarga penganten perempuan yang usianya diatas penganten perempuan kepada penganten laki-laki (selanjutnya disebut sumando). Mulai dari mertua, mamak, saudara, kakak ipar, sepupu, saudara mertua, bako penganten perempuan, semuanya menyapa penganten laki-laki dengan gelar yang disandang penganten laki-laki. Tidak akan pernah seorang sumando disapa dengan namanya, pasti disapa dengan sebutan gelarnya (bagindo, sidi dan sutan).
Sekalipun usia sumando lebih tua dibanding dengan keluarga isterinya, namun karena usianya lebih tua dari isteri (atau isteri memanggilnya Ajo/Uda/Kakak), tetap saja menyapa sumando dengan gelarnya. Sebaliknya, sumando tidak boleh pula menyapa dengan namanya meski lebih muda, tapi sama seperti isterinya memanggil yang lebih tua itu.
Bagi orang Pariaman, janggal memanggil nama langsung menantu laki-laki, termasuk sanak saudara yang usianya lebih tua dari isterinya. Merupakan aib atau tidak pada tempatnya jika ada seseorang keluarga perempuan menyapa sumando dengan namanya. Tabu bagi seseorang laki-laki dipanggil namanya di tengah keluarga isteri. Kalaupun belum mengetahui secara pasti gelarnya, pasti ditanyakan dulu, siapa gala menantu kita ini. Sehingga yang lebih tua dari isterinya, memanggil gelar, Sidi, Bagindo atau Sutan. Sedangkan lebih muda dari isteri bisa memanggil Ajo, Uda, atau seperti sang isterinya memanggil.
Di daerah Pariaman orang laki-laki yang sudah menikah tanpa gelar (salah satu gelar dari tiga tadi), maka sering disebut dengan “Uwo” atau “Magek”. Penyandang gelar yang sebenarnya bukan gelar ini (Uwo atau magek), dianggap rendah atau tidak termasuk pada “orang berbangsa” di Pariaman.
Hamka juga mengakui perbedaan di Pariaman ini dengan daratan Minangkabau. Di Pariaman orang mengambil gelar daripada ayahnya, yaitu gelar “Sidi”. Dan gelar sidi yang asli ialah diterimanya turun temurun sebagai keturunan Hasan dan Husain, dan pada wajah kaum “Sidi” (di tempat lain kaum sayid) yang asli masih kedapatan bentuk-bentuk Arab. Setelah itu keturunan “Bagindo” yang pada dirinya mengalir darah raja-raja dari yang ada pertalian dengan Aceh. Setelah itu keturunan “Sutan”. Gelar-gelar itu semuanya diterima dari ayah. Padahal susunan gelar yang demikian tidak ada di Minangkabau darat. Gelar diterima orang dari mamaknya. Yang utama ialah “Datuk”, kemudian itu sutan atau bagindo atau kari (dari qori) atau pakih (dari faqih) atau malin (dari mu’allim). Gelar datuk, sutan dan bagindo diterima turun temurun dari mamak.
Menurut Hamka, pengaruh Aceh besar sekali di Tiku Pariaman, sehingga jelas sampai sekarang pada gelar yang dipakai. Orang Pariaman menerima gelar keturunan dari ayahnya, bukan dari mamaknya. Tiga gelar yang terkenal itu adalah Sidi, Bagindo dan Sutan.
Sidi gelar keturunan Rasulullah, sebagai Sayid dan Syarif. Sampai sekarang di Marokko, keturunan-keturunan Sayid itu masih disebutkan Sidi. Bagindo, gelar keturunan raja-raja. Dan Sutan keturunan bangsawan. Semua dipanggil Ajo. Dari kata Raja (Rajo). Sebab itu janggal sekali terdengar di telingga orang Tiku Pariaman kalau kami orang darat bergelar Sidi Bagindo, Bagindo Sidi, atau Sidi Sutan, atau Sutan Bagindo dan Bagindo Sutan. Ini menunjukkan sudah begitu mendalamnya pengaruh Arab Islam di Tiku Pariaman, namun harta pusaka masih tetap matriaarchat
Dari tiga gelar tadi (Bagindo, Sutan dan Sidi), pada masa lalu Sidi lebih diistimewakan. Dalam tata cara pernikahan, mereka yang bergelar sidi akan memakai roki, yaitu peci yang bersulam benang emas dan beranting-anting ketika pergi bersemandan (basumandan) ke rumah penganten perempuan. Sedangkan laki-laki yang bergelar selain Sidi, hanya memakai peci hitam. Selain itu, mertuanya (ibu dari isterinya) sering memberi uang kepada menantunya ini. Sekarang ketiga gelar tersebut menempati posisi yang sama dan diperlakukan sama.
Sebagai perbandingan, gelar sidi juga terdapat di negara Tunisia dan Afrika Utara (Aljazair, Maroko dan Libya). Lukman Harun dalam sebuah tulisannya menyebutkan, di negara tersebut banyak nama daerah bernama sidi. Contohnya Sidi Bousaid, Sidi Makhlouf, dan sebagainya. Ternyata nama itu berasal dari ulama, orang-orang alim yang menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok di Afrika Utara. Jika ulama tersebut meninggal, maka daerah itu dinamakan dengan nama ulama tersebut yang diawali dengan Sidi. Jika dilihat asal muasal Sidi di Pariaman, dari Saidina (tuan kami) atau Said (tuan) yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. Konon, katanya dulu ada ulama/mubaligh dari Timur Tengah datang ke Pariaman untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Dari situlah asal mulanya perkataan Sidi. Muncul pertanyaan, adakah keterkaitan sebutan Sidi ini dengan yang di Tunisia dan Afrika Utara? Entalah. Perlu penelitian lebih lanjut.
Jika seseorang tidak memiliki salah satu gelar dari tiga gelar tersebut, maka diberikan gelar Marah Sutan. Gelar Marah Sutan diperoleh bukanlah atas keturunannya, tapi adalah gelar yang diberikan kepada seseorang karena menantu tersebut “tidak mempunyai gelar”. Boleh jadi menantunya bukan dari orang Pariaman yang tidak memiliki gelar dari ayahnya. Sehingga diberikan gelar Marah Sutan, agar keluarga isterinya yang lebih tua tidak memanggil nama, tapi adalah gelar.
Pergolakan perpolitikan di Sumatera Barat melalui PRRI menjelang 1960-an telah menyebabkan kekalahan fisik dan mental orang Minangkabau, termasuk rang Piaman. Sehingga sebagian Rang Piaman enggan menunjukkan identitas dirinya. Di pentas nasional, sebutan gelar tersebut tak lagi dicantumkan. Bahkan boleh jadi ada yang malu mengaku rang Piaman. Dari segi pemberian nama kepada anak sebagai identitas dirinya pun bergeser. Muncul nama-nama anak yang sering meniru dan mencontoh nama ke barat-baratan atau asal memberikan nama sehingga tidak mengandung makna yang baik. Bahkan nama yang diberikan berkonotasi jelek sehingga dengan mudah jadi ejekan orang lain. Atau meniru nama-nama bintang film yang akhlak dan moralnya amat diragukan.
Padahal menurut hadist Nabi Muhammad Saw, “Kewajiban orangtua atas anaknya ialah membaguskan namanya dan budi pekertinya, mengajari menulis, berenang dan memanah, dan tidak memberinya rezeki kecuali yang baik, dan mengawinkannya apabila ia berkehendak.” (HR. Hakim).
Banyak nama-nama tokoh Islam yang pantas dan indah didengar untuk diabadikan kepada nama anak. Baik nama Nabi seperti Ibrahim, Yakub, Ilyas, Sulaiman dan sebagainya, tokoh Islam semasa zaman nabi, khulafarrasyidin, tabi’in, dan tokoh-tokoh Islam selanjutnya yang dikenang sejarah. Dengan memberikan nama-nama tokoh tersebut, mudah-mudahan sang anak juga menjadi tokoh Islam yang memperjuangkan agamanya. Bisa juga dari asma’ul husna. Seperti Rahman (pengasih), Rahim (penyayang), Malik (memiliki/merajai), Muhaimin (penjaga), Mu’iz (pemberi kemuliaan), Aziz (mulia/wibawa) dan seterusnya. Mudah-mudahan pemberian nama tersebut mampu menjadi karakter si anak kelak setelah menjadi dewasa. Bukan seperti kebanyakkan orang tua yang memberikan nama anak sembarangan, termasuk mencontoh nama-nama yang kedengaran kurang enak. Bukankah nama anak merupakan identitas dirinya sejak kecil hingga wafat dan sampai di hari akhir kelak.
Selain tiada ditemukan rumah bagonjong yang atapnya seperti tanduk kerbau, terdapat pula kekhasan Piaman dibanding daerah darek. Di rantau Piaman terdapat gala yang tidak terdapat di darek. Gala khas Piaman itu adalah Sutan, Bagindo dan Sidi. Sebutan Sutan, Bagindo dan Sidi di awal nama seseorang, dapat dipastikan ia berasal dari Piaman. Itulah identitas Rang Piaman. Namun, jika sebutan tersebut berada di belakang namanya, itu bukanlah dari Piaman. Dalam sistem perkawinan dan kekerabatan di Piaman, memang memiliki perbedaan dengan daerah lain di Minangkabau. Selain uang japuik, sebutan gelar bagi laki-laki yang sudah berumah tangga juga beda. Di Piaman dikenal tiga sebutan, yakni Bagindo, Sutan dan Sidi.
Gelar ini sudah ditanyakan pihak perempuan ketika pernikahan dilangsungkan. Biasanya ada saja pihak perempuan yang nyeletuk, “siapa gelar menantu kita ini”. Secara spontan dijawab oleh seseorang keluarga pihak penganten laki-laki, Bagindo gelarnya, atau gelar menantu ko yo Sidi, bisa juga Sutan gelar menantu awak. Sejak itu, resmilah seorang laki-laki Piaman dipanggil gelarnya oleh keluarga isterinya yang lebih tua dari sang isteri.
Meski gelar Bagindo, Sidi dan Sutan dikenal juga di daerah Minangkabau lainnya, namun pemakaiannya selalu ditambah atau rangkap seperti : Bagindo Sutan, Malin Sutan atau Sutan Magek dan sebagainya yang turun dari mamak ke kamanakan. Gelar itu diletakkan di belakang nama seseorang laki-laki. Contohnya, Kutar Sutan Magek, Damanhuri Bagindo Malin dan sebagainya. Sedangkan di Pariaman, gelar itu mendahului nama seseorang seperti : Bagindo Muhammad, Sutan Damanhuri dan sebagainya yang diwarisi dari ayah turun ke anak.
Agaknya orang Pariaman sendiri menganut sistem amphibius, ya matrilineal, ya patrilineal. Contoh ; Bagindo Amri gelar Dt. Rajo Mangkuto, Sutan Harun gelar Dt. Majo Basa, Sidi Harun gelar Dt. Lelowangso.
Panggilan gelar Bagindo, Sidi dan Sutan adalah panggilan yang dilakukan semua pihak keluarga penganten perempuan yang usianya diatas penganten perempuan kepada penganten laki-laki (selanjutnya disebut sumando). Mulai dari mertua, mamak, saudara, kakak ipar, sepupu, saudara mertua, bako penganten perempuan, semuanya menyapa penganten laki-laki dengan gelar yang disandang penganten laki-laki. Tidak akan pernah seorang sumando disapa dengan namanya, pasti disapa dengan sebutan gelarnya (bagindo, sidi dan sutan).
Sekalipun usia sumando lebih tua dibanding dengan keluarga isterinya, namun karena usianya lebih tua dari isteri (atau isteri memanggilnya Ajo/Uda/Kakak), tetap saja menyapa sumando dengan gelarnya. Sebaliknya, sumando tidak boleh pula menyapa dengan namanya meski lebih muda, tapi sama seperti isterinya memanggil yang lebih tua itu.
Bagi orang Pariaman, janggal memanggil nama langsung menantu laki-laki, termasuk sanak saudara yang usianya lebih tua dari isterinya. Merupakan aib atau tidak pada tempatnya jika ada seseorang keluarga perempuan menyapa sumando dengan namanya. Tabu bagi seseorang laki-laki dipanggil namanya di tengah keluarga isteri. Kalaupun belum mengetahui secara pasti gelarnya, pasti ditanyakan dulu, siapa gala menantu kita ini. Sehingga yang lebih tua dari isterinya, memanggil gelar, Sidi, Bagindo atau Sutan. Sedangkan lebih muda dari isteri bisa memanggil Ajo, Uda, atau seperti sang isterinya memanggil.
Di daerah Pariaman orang laki-laki yang sudah menikah tanpa gelar (salah satu gelar dari tiga tadi), maka sering disebut dengan “Uwo” atau “Magek”. Penyandang gelar yang sebenarnya bukan gelar ini (Uwo atau magek), dianggap rendah atau tidak termasuk pada “orang berbangsa” di Pariaman.
Hamka juga mengakui perbedaan di Pariaman ini dengan daratan Minangkabau. Di Pariaman orang mengambil gelar daripada ayahnya, yaitu gelar “Sidi”. Dan gelar sidi yang asli ialah diterimanya turun temurun sebagai keturunan Hasan dan Husain, dan pada wajah kaum “Sidi” (di tempat lain kaum sayid) yang asli masih kedapatan bentuk-bentuk Arab. Setelah itu keturunan “Bagindo” yang pada dirinya mengalir darah raja-raja dari yang ada pertalian dengan Aceh. Setelah itu keturunan “Sutan”. Gelar-gelar itu semuanya diterima dari ayah. Padahal susunan gelar yang demikian tidak ada di Minangkabau darat. Gelar diterima orang dari mamaknya. Yang utama ialah “Datuk”, kemudian itu sutan atau bagindo atau kari (dari qori) atau pakih (dari faqih) atau malin (dari mu’allim). Gelar datuk, sutan dan bagindo diterima turun temurun dari mamak.
Menurut Hamka, pengaruh Aceh besar sekali di Tiku Pariaman, sehingga jelas sampai sekarang pada gelar yang dipakai. Orang Pariaman menerima gelar keturunan dari ayahnya, bukan dari mamaknya. Tiga gelar yang terkenal itu adalah Sidi, Bagindo dan Sutan.
Sidi gelar keturunan Rasulullah, sebagai Sayid dan Syarif. Sampai sekarang di Marokko, keturunan-keturunan Sayid itu masih disebutkan Sidi. Bagindo, gelar keturunan raja-raja. Dan Sutan keturunan bangsawan. Semua dipanggil Ajo. Dari kata Raja (Rajo). Sebab itu janggal sekali terdengar di telingga orang Tiku Pariaman kalau kami orang darat bergelar Sidi Bagindo, Bagindo Sidi, atau Sidi Sutan, atau Sutan Bagindo dan Bagindo Sutan. Ini menunjukkan sudah begitu mendalamnya pengaruh Arab Islam di Tiku Pariaman, namun harta pusaka masih tetap matriaarchat
Dari tiga gelar tadi (Bagindo, Sutan dan Sidi), pada masa lalu Sidi lebih diistimewakan. Dalam tata cara pernikahan, mereka yang bergelar sidi akan memakai roki, yaitu peci yang bersulam benang emas dan beranting-anting ketika pergi bersemandan (basumandan) ke rumah penganten perempuan. Sedangkan laki-laki yang bergelar selain Sidi, hanya memakai peci hitam. Selain itu, mertuanya (ibu dari isterinya) sering memberi uang kepada menantunya ini. Sekarang ketiga gelar tersebut menempati posisi yang sama dan diperlakukan sama.
Sebagai perbandingan, gelar sidi juga terdapat di negara Tunisia dan Afrika Utara (Aljazair, Maroko dan Libya). Lukman Harun dalam sebuah tulisannya menyebutkan, di negara tersebut banyak nama daerah bernama sidi. Contohnya Sidi Bousaid, Sidi Makhlouf, dan sebagainya. Ternyata nama itu berasal dari ulama, orang-orang alim yang menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok di Afrika Utara. Jika ulama tersebut meninggal, maka daerah itu dinamakan dengan nama ulama tersebut yang diawali dengan Sidi. Jika dilihat asal muasal Sidi di Pariaman, dari Saidina (tuan kami) atau Said (tuan) yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. Konon, katanya dulu ada ulama/mubaligh dari Timur Tengah datang ke Pariaman untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Dari situlah asal mulanya perkataan Sidi. Muncul pertanyaan, adakah keterkaitan sebutan Sidi ini dengan yang di Tunisia dan Afrika Utara? Entalah. Perlu penelitian lebih lanjut.
Jika seseorang tidak memiliki salah satu gelar dari tiga gelar tersebut, maka diberikan gelar Marah Sutan. Gelar Marah Sutan diperoleh bukanlah atas keturunannya, tapi adalah gelar yang diberikan kepada seseorang karena menantu tersebut “tidak mempunyai gelar”. Boleh jadi menantunya bukan dari orang Pariaman yang tidak memiliki gelar dari ayahnya. Sehingga diberikan gelar Marah Sutan, agar keluarga isterinya yang lebih tua tidak memanggil nama, tapi adalah gelar.
Pergolakan perpolitikan di Sumatera Barat melalui PRRI menjelang 1960-an telah menyebabkan kekalahan fisik dan mental orang Minangkabau, termasuk rang Piaman. Sehingga sebagian Rang Piaman enggan menunjukkan identitas dirinya. Di pentas nasional, sebutan gelar tersebut tak lagi dicantumkan. Bahkan boleh jadi ada yang malu mengaku rang Piaman. Dari segi pemberian nama kepada anak sebagai identitas dirinya pun bergeser. Muncul nama-nama anak yang sering meniru dan mencontoh nama ke barat-baratan atau asal memberikan nama sehingga tidak mengandung makna yang baik. Bahkan nama yang diberikan berkonotasi jelek sehingga dengan mudah jadi ejekan orang lain. Atau meniru nama-nama bintang film yang akhlak dan moralnya amat diragukan.
Padahal menurut hadist Nabi Muhammad Saw, “Kewajiban orangtua atas anaknya ialah membaguskan namanya dan budi pekertinya, mengajari menulis, berenang dan memanah, dan tidak memberinya rezeki kecuali yang baik, dan mengawinkannya apabila ia berkehendak.” (HR. Hakim).
Banyak nama-nama tokoh Islam yang pantas dan indah didengar untuk diabadikan kepada nama anak. Baik nama Nabi seperti Ibrahim, Yakub, Ilyas, Sulaiman dan sebagainya, tokoh Islam semasa zaman nabi, khulafarrasyidin, tabi’in, dan tokoh-tokoh Islam selanjutnya yang dikenang sejarah. Dengan memberikan nama-nama tokoh tersebut, mudah-mudahan sang anak juga menjadi tokoh Islam yang memperjuangkan agamanya. Bisa juga dari asma’ul husna. Seperti Rahman (pengasih), Rahim (penyayang), Malik (memiliki/merajai), Muhaimin (penjaga), Mu’iz (pemberi kemuliaan), Aziz (mulia/wibawa) dan seterusnya. Mudah-mudahan pemberian nama tersebut mampu menjadi karakter si anak kelak setelah menjadi dewasa. Bukan seperti kebanyakkan orang tua yang memberikan nama anak sembarangan, termasuk mencontoh nama-nama yang kedengaran kurang enak. Bukankah nama anak merupakan identitas dirinya sejak kecil hingga wafat dan sampai di hari akhir kelak.
Assalamualaikum wr wb
BalasHapusAnak mau tanyakan apakah maksud dr. Gelar yang double seperti Sidi Bagindo?
Wa 082387277299
Assalamualaikum wr wb
BalasHapusAnak mau tanyakan apakah maksud dr. Gelar yang double seperti Sidi Bagindo?
Wa 082387277299
Assalamualaikum.sy mau tanya dari manakah asal kata pariaman itu sendiri.mf sy pernah menanyakan hal ini kpd seseorg.beliau mengatakan bahwa asal pariiaman itu adalah dari "Yaman" di aceh disebut far yaman.mhn penjelasanya saudara...
BalasHapusKata Pariaman aslinya Pariyamana nama sultan Aceh
HapusSatu pertanyaan lagi.mf apkh gelar sidi.bagindo dan sutan apakah berdatuk kpd datuk nan sabatang atau berbeda setiap gelar datuknya.mhn penjelasanya daudara ju
BalasHapusApakah orang pariaman bergelar sidi ketika pindah provinsi ada yang menghilangkan identitas gelar sidi? Apakah boleh seperti itu?
HapusAmbo bagala sidi , dek adiak kakek ambo di jalehan , gala sidi kok dari turunan syech buhanudin nan datang dari kan'an palestina , karena itu ulakan itu dari kata ulama kan'an. Sedangkan kata piaman berasal dari kata fi amani ( dalam keimanan ) , Syech Burhanudin pernah pergi ke Daerah aceh , murid2nya dari piaman mengikutinya dan melihat jejaknya , maka itu daerah teersebut dinamankan tapak tuan . Dan Aceh sendiri berasal dari kata as syech , yakni gelar sang syech . Wallaualam bishawab.
BalasHapusSyekh burhanudin tu bukan dari keturunan sidi tp dari keturunannyo baginfo..
HapusDan beliau pun indak mempunyai keturunan..
Kalau situ barasa dari keturunsn bagindo jan mancubo mangaku-ngaku untuak manjadi katurunan dari sidi..
Syech burhanudin itu orang arab yg dr wilyah kan'an palestina keturunan syech abdul qadir jailani keturunan syaidina Hasan bin ali ( cucu radulullah ). Syech adalah julukan bagi orang2 tua terhormat bangsa arab
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusSaya keturunan sutan bagindo dengan nama nenek "hj.upik sutan bagindo" apakah disini ada keturunan "sutan bagindo"
BalasHapusAmbo sutan bagindo mah sanak
HapusKakek saya gelarnya Sutan Taher Taher (bahasa Arab: طاهر; Transliterasi: Ṭāhir; diucapkan [tˤɑːˈher]) di belakang namanya adalah satu diantara dari klan Arab Hadhrami golongan Alawiyyin di Indonesia.
BalasHapusboleh minta no WA nya Bg
HapusSutan barahin baa sejarahnyo tu sanak..?
BalasHapusDimanakah kita bisa mendapatkan data ranji silisilah Sidi Nan Sabatang?
BalasHapusSidi nan sabatang tu bermarga al magribi,makamnyo di pedisir pantai jogja karta,jawa tengah.
Hapus